 |
Syeh Abdul Malik Banyumas |
Sokaraja dibelah oleh aliran sungai (Kali Pelus) tepat di tengah, yang
memisahkan kota ini menjadi wilayah utara (Sokara lor kali) dan selatan
(Sokaraja kidul kali). Desa Sokaraja Lor dan Sokaraja Wetan di sebelah utara
Kali Pelus lebih bercorak pertanian daripada desa Sokaraja Kidul, Tengah dan
Kulon di selatan yang lebih bercorak kota . Pusat industri dan perdagangannya
memusat di sepanjang empat ruas protokol jalan yang menghubungkan Sokaraja
dengan kota-kota lainnya dan wilayah pemukimannya berhimpitan tepat di
belalakang jejeran toko/kios. Sementara, lahan persawahan membentuk lingkaran
terluar yang mengelilingi kota Sokaraja di delapan penjuru mata angin.
Sokaraja adalah pusat pemukiman urban dan komersil pertama yang
berkembang di wilayah Banyumas. Kota ini adalah distrik pertama yang mendapat
suntikan modal Belanda pada waktu awal diberlakukannya tanam paksa (1840-1870).
Konon cerita, dipilihnya Sokaraja banyak dipengaruhi oleh kolaborasi penguasa
lokal Sokaraja saat itu (Tumenggung Jayadireja) dengan kumpeni Belanda pada
saat Perang Diponegoro (1825-1830). Selagi daerah lain belum lagi beranjak dari
isolasi geografis dan pertanian subsisten, Sokaraja sudah mendapatkan limpahan
pembangunan fisik seperti jalan kereta api, jembatan, pasar, saluran irigasi,
dan jalan raya. Singkatnya, gula menjadi mode ekonomi dominan di wilayah ini
sampai dengan kebangkrutannya setelah depresi dunia akhir tahun 1920-an.
Bangunan tua lapuk Pabrik Gula Kalibagor (500 meter selatan kota) yang berdiri
sejak 1839 adalah saksi bisu kejayaan gula dalam ekonomi local Sokaraja selama
rentang satu abad.
Bagi orang luar, Sokaraja boleh jadi memang kadung lekat dengan getuk dan
kripik. Tapi bagi penduduk asli, Sokaraja punya lebih banyak warna-warni
sejarah dengan julukan yang berbeda-beda untuk tiap masa. Berbagai julukan itu
menjadi pertanda aktivitas ekonomi yang berubah. Antara 1930-1960, Sokaraja
dikenal sebagai kota batik. Dari awal Orba sampai akhir 80-an, kota ini dikenal
dengan julukan kota lukisan dan kota keramik. Getuk goreng dan kripik hanya
menandai perkembangan terbaru kegiatan ekonomi penduduknya. Entah julukan apa
lagi yang akan muncul setelah ini.
Kalaupun ada yang tidak berubah dari Sokaraja, itu karena dari
dulu sampai sekarang orang mengenal kota ini sebagai kota santri. Kota kecil
berpenduduk lebih kurang 22 ribu seluas kurang lebih 831 hektar ini memiliki 7
buah pesantren, 3 di Sokaraja Lor, 3 di Sokaraja Kulon, dan 1 di Sokaraja
Tengah. Pesantren tertua di kota ini, Pesantren Assuniyah Kebonkapol di
Sokaraja Lor didirikan oleh Syekh Imam Rozi pada tahun 1830-an. Ke arah timur,
tidak jauh dari Pesantren Assuniyah, ada pesantren besar khusus untuk pengikut
tarekat, namanya Pondok Pesulukan Naqsabandi. Pesantren ini juga dinamakan
Pondok Peguron. Pada bulan Rajab, Maulud dan Ramadhan, Pondok Peguron akan
dibanjiri ribuan pengikut tarekat Naqsabandi dari seluruh Indonesia yang
mengikuti ritual suluk akbar.
Predikat sebagai kota santri ada hubungannya dengan sejarah
gerakan Islam dan ketokohan beberapa kyainya. Sejak awal 1930-an, Sokaraja
menjadi tempat kedudukan konsul tetap NU yang membawahi wilayah kerja Banyumas,
Jogja, dan Kedu.[1] Melalui NU-lah, Sokaraja berkembang menjadi pusat
perlawanan gerakan kyai menentang penjajahan Belanda dan Jepang. Menurut
beberapa sumber lokal, gerakan perlawanan kyai ini merupakan bagian dari
gerakan Mabadi Khoiro Ummah yang sudah dirintis oleh NU sejak awal
1930-an. Gerakan ini mencakup banyak kegiatan seperti pengajian rutin,
pengumpulan dana perjuangan, pendirian madrasah, sampai dengan penggemblengan
fisik untuk para pemuda.[2]
Pada masa Jepang, gerakan perlawanan bawah tanah (non-cooperatie)
ini berkembang menjadi gerakan cooperatie dengan penguasa pendudukan. Kyai
Raden Mukhtar, konsul NU Banyumas misalnya, menjadi satu-satunya perwakilan NU
di Syumuka (lembaga bentukan Jepang yang menyerupai lembaga kepenguluan masa
Belanda di tingkat kabupaten) Dalam Guruku Orang-Orang Pesantren,
Saifuddin Zuhri yang pernah menjadi tangan kanan Kyai Wahid Hasyim, menyinggung
bahwa kerjasama ini merupakan bagian dari taktik baru yang ditempuh NU pasca
penahanan Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari oleh Jepang pada tahun 1943. Pada hemat
penulis, perubahan strategi dari non-kerja sama ke kerjasama ini merupakan
upaya NU untuk mengikis dominasi kalangan modernis dalam lingkaran birokrasi
kolonial dan sekaligus menciptakan basis kekuasaan untuk dirinya sendiri dalam
struktur baru pasca kolonial.
Predikat sebagai kota santri untuk Sokaraja juga berasal dari
ketokohan kyai-kyainya. Sampai saat ini, hampir semua kyai di Banyumas melacak
genealogi pengetahuannya, langsung maupun tidak langsung, dari beberapa kyai
sepuh di Sokaraja. Sokaraja menjadi tempat tinggal beberapa kyai generasi
pertama di Banyumas yang mendapatkan pendidikannya dari pesantren-pesantren tua
ternama seperti Termas, Bangkalan dan Lasem dan juga dari Arabia . Di samping
itu, Sokaraja melahirkan kyai dari yang politisi, ahli fiqh, dan utamanya
tarekat. Dari semuanya, barangkali tidak ada yang menyamai reputasi Kyai
Saifuddin Zuhri yang pernah menjadi menteri agama era Soekarno akhir.
Tarekat dan Tradisi Islam Lokal
Tarekat adalah tradisi Islam lokal yang mengakar kuat di Banyumas secara umum
dan khususnya Sokaraja. Barangkali ini ada kaitannya dengan sejarah awal
perkembangan Islam di wilayah ini pada akhir abad ke-15. Sebelum kedatangan
Islam, Banyumas adalah wilayah semi independen di bawah pengaruh Kerajaan Hindu
Galuh Pakuan/Pajajaran. Empat abad setelah awal kedatangannya, Islam belumlah
memiliki akar yang kokoh dalam tradisi keagamaan lokal. Beberapa sumber lisan
(babad) bahkan menceritakan perlawanan yang dilakukan beberapa penguasa lokal
terhadap proses Islamisasi di wilayah ini. Tarekat menjadi instrumen Islamisasi
yang efektif karena kemampuannya mengakomodasi tradisi keagamaan lokal.
Pada masa kekuasaan Tumenggung Jayadireja (1830-1853), Syattariyah adalah
tarekat yang paling tersebar luas di Sokaraja. Diperkirakan, tarekat ini
bersumber dari murid-murid Syekh Abdul Mukhyi, Garut, seorang mursyid tarekat
Syattariyah yang mendapatkan ijazah irsyad-nya dari Syekh Abdurrauf Singkel,
Aceh. Di Banyumas, Syattariyah menciptakan varian baru yang menggabungkan
beberapa ajaran tarekat lain, seperti Rifaiyah dan Naqsabandi-Qodiriya h.
Tarekat ini dikenal dengan nama tarekat Akmaliyah/Kamaliyah .
Ajaran tarekat Akmaliyah pernah menjadi objek disertasi Drewes pada tahun 1925
di Leiden . Menurut Drewes, Akmaliyah disebarkan oleh tiga guru tarekat; Kyai
Hasan Maulani (Lengkong, Cirebon ), Kyai Nurhakim (Pasir Wetan, Purwokerto),
dan Malangyuda (Rajawana, Purbalingga) . Ketiganya merupakan guru-murid, dengan
Kyai Hasan Maulani sebagai pendiri dan guru utamanya. Menariknya, Kyai Hasan
Maulani sendiri mendapat bimbingan pertama kali untuk masuk tarekat dari Syekh
Abdussomad, seorang guru Naqsabandi-Qodiriya h di desa Jombor, sekitar 25 km
barat Purwokerto. Sehingga tidak berlebihan untuk menyatakan bahwa Akmaliyah
adalah tarekat lokal asli Banyumas. Mendasarkan pada studi Drewes, Bruinessen
dan Steenbrink menyatakan bahwa Akmaliyah merupakan tarekat yang kental dengan
ajaran wahdatul wujud dan sinkretisme Jawa.
Banyaknya pengikut tarekat Akmaliyah menakutkan penguasa saat itu.
Hal ini mendorong Belanda membuang Kyai Hasan Maulani ke Menado pada tahun
1846.[3] Sepeninggalnya, ajarannya dilanjutkan oleh Kyai Nurhakim
dan Malangyuda. Pada masa kepemimpinan Kyai Nurhakim dan Malangyuda, Akmaliyah
menginspirasi beberapa pemberontakan rakyat di wilayah ini. Ini mendorong
Belanda mengawasi ketat gerak-gerik kedua orang ini.
Seorang sejarawan lokal yang pernah menulis tentang ini, Tanto
Sukardi, menghubungkan gerakan tarekat Akmaliyah dengan meluasnya ketidakpuasan
rakyat terhadap kondisi sosial ekonomi masa tanam paksa. Tarekat bahkan memakan
korbannya dari kalangan elit penguasa ketika Belanda mengasingkan bekas
sekutunya, Tumenggug Jayadireja (bekas penguasa Sokaraja dan Bupati Purwokerto,
1853-1860) ke Padang pada tahun 1860. Bupati Jayadireja dituduh berkomplot
untuk menggulingkan kekuasaan Belanda karena asosiasinya dengan gerakan tarekat
Kyai Nurhakim.
Surutnya Syattariyah dan Akmaliyah di Banyumas secara umum dan
Sokaraja secara khusus tidak mematikan gerakan tarekat di wilayah ini. Sejak
awal 1880-an, Kyai Muhammad Ilyas muncul sebagai mursyid terkemuka. Dia
merupakan salah satu khalifah Sulaiman Zuhdi (guru tarekat Naqsabandi-Kholidiy
ah asal Turki di Mekkah) untuk wilayah Jawa.[4] Dia mulai menyebarkan tarekat ini dari langgar kecilnya di
dukuh Kedungparuk, Mersi (sekitar 5 km timur Purwokerto). Mengulang nasib
guru-guru tarekat sebelumnya, sambutan luas masyarakat terhadap ajarannya
kembali mengundang kecurigaan Belanda terhadap Kyai Muhammad Ilyas. Dengan
tuduhan makar, Kyai Muhammad Ilyas kemudian ditahan Belanda pada tahun 1888.[5]
Setelah dibebaskan dari tahanan, Kyai Muhammad Ilyas meneruskan
ajaran tarekatnya di Sokaraja Lor. Pemilihan Sokaraja Lor erat kaitannya dengan
pengawasan ketat Belanda yang terus berlanjut atas tokoh ini. Secara geografis,
Sokaraja dipilih karena mempunyai jalur transportasi yang bagus dan hanya
berjarak kurang dari 10 km dari kota Banyumas, ibukota karesidenan Banyumas
saat itu. Alasan lainnya lebih bersifat pribadi. Kyai Muhammad Ilyas hanya
diijinkan mengajar tarekat dari masjid wakaf Penghulu landraat Abubakar,
seorang pejabat agama kolonial yang belakangan menjadi mertuanya. Pada waktu
meninggalnya tahun 1914, Kyai Muhammad Ilyas meninggalkan pada keturunannya
sebuah jaringan tarekat yang tersebar luas di wilayah Banyumas dan sekitarnya.[6] Kyai Abdussalam, mursyid Naqsabandi-Kholidiy ah saat ini,
adalah cicit Kyai Muhammad Ilyas. Di bawah Kyai Abdussalam, jaringan tarekat
ini menyebar sampai ke Aceh, Riau, Jambi, Lampung, Jabar, Kalsel dan Kaltim,
dan Kalteng dengan jamaah sekitar 35.000 orang.
Sejak akhir 1920-an, dominasi Naqsabandi-Kholidiy ah di Sokaraja
mendapat saingan dari tarekat Syadziliyah. Tarekat ini disebarkan pertama kali
oleh Kyai Muhammad Asfiya, Sokaraja Tengah, cucu dari Syekh Imam Rozi, perintis
dakwah Islam di Sokaraja dan pendiri Pesantren Assuniyah, Kebonkapol Sokaraja
Lor. Saat ini, terdapat lima orang mursyid di kota Sokaraja; yaitu Kyai
Muhammad Hidayat, Habib Umar Bafakih, Kyai Abdussalam, Habib Khusen bin Salim
dan Kyai Muhammad Imam Munchasir. Dua yang pertama adalah mursyid
Naqsabandi-Qodiriya h sedang dua yang terakhir adalah mursyid Syadziliyah. Syadziliyah
adalah jaringan tarekat tunggal terbesar di wilayah ini dengan jumlah mursyid
sebanyak kurang lebih 24 orang.
Tarekat dan Ekonomi Batik
Sejak kolapsnya industri
gula pada akhir 1920-an, batik telah menggantikannya menjadi penggerak utama
ekonomi lokal Sokaraja. Ada dua pandangan tentang asal-usul batik di Banyumas.
Satu pandangan menyatakan bahwa batik berkembang sejak lama di daerah-daerah
perdikan di Banyumas. Pandangan yang lain menyatakan bahwa keahlian membatik
ini dibawa oleh para pengikut Diponegoro yang melarikan diri ke daerah Banyumas
setelah kekalahannya dalam perang Jawa pada tahun 1830. Terlepas dari pandangan
mana yang benar, batik menandai kebangkitan usahawan Muslim pribumi. Pada masa
keemasannya antara pertengahan 1950-an dan 1960-an, Sokaraja menyumbang
sebagian besar produksi Batik Banyumas.
Kejayaan perniagaan saudagar batik Sokaraja disumbang oleh kebijakan negara
untuk mengembangkan pengusaha pribumi. Di bawah kebijakan ini, koperasi batik
Banyumas (Perbain) yang masuk sebagai salah satu anggota pendiri GKBI (Gabungan
Koperasi Batik Indonesia ) mendapatkan hak monopoli pengadaan mori dan
alat-alat pembantikan. Mengikuti kolega-koleganya di GKBI, Perbain mendulang
keuntungan besar besar dari monopoli ini. Pada tahun 1956, jumlah pengusaha
batik anggota Perbain berjumlah 108. Pada masa keemasannya, Perbain bukan saja
berkutat pada usaha pembuatan dan penjualan batik tapi juga bergerak di bidang
sosial. Mereka mengelola sekolah, pusat kesehatan masyarakat dan pabrik
tekstil.
Dinamika gerakan tarekat di Sokaraja berkaitan erat dengan perkembangan
pengusaha batik pribumi. Jaringan bisnis para pengusaha batik ini biasanya
paralel dengan jaringan keagamaan dan sosial gerakan tarekat. Di Sokaraja bahkan
ada kecenderungan menarik karena para guru tarekat biasanya adalah juga para
pengusaha batik yang sukses. Kyai Rifai misalnya, adalah contoh pengusaha batik
kaya yang juga seorang guru tarekat dengan jaringan yang sangat luas. Dia
adalah guru tarekat Naqsabandi-Kholidiy ah yang didirikan oleh kakeknya, Kyai
Muhammad Ilyas. Dia menggantikan ayahnya (Kyai Affandi) sebagai guru tarekat
sejak 1928 sampai meninggalnya pada tahun 1968. Pada masa hidupnya, Kyai Rifai
konon adalah salah seorang paling kaya di Sokaraja. Jaringan tarekat dan bisnis
Kyai Rifai menyebar dari Ciamis, Garut, Tasikmalaya, Purbalingga, Banjarnegara,
Pekalongan, Pemalang, Temanggung, dan Magelang.
Seperti halnya Naqsabandi-Kholidiy ah, Syadziliyah, tarekat terbesar kedua di
Sokaraja juga memiliki jaringan sosial yang paralel dengan jaringan perniagaan
saudagar batik. Genealogi tarekat Syadziliyah Sokaraja dan Banyumas berhubungan
dengan para saudagar batik di Laweyan, Solo. Bukan satu kebetulan bahwa
guru-guru Syadziliyah dengan jaringan terbesar di Banyumas mendapat ijazahnya
dari guru tarekat sekaligus saudagar batik dari Solo, seperti Kyai Idris, Kyai
Siroj dan Kyai Ma’ruf.
Pada awal 1960-an, kemapanan para saudagar batik ini sedikit
terusik seiring dengan radikalisasi politik karena menguatnya komunisme. Pada
pemilu lokal tahun 1957, PKI muncul sebagai kekuatan politik terbesar ketiga
setelah PNI dan NU. Dengan jumlah massa sekitar 200,000 orang, PKI adalah
kekuatan yang cukup diperhitungkan di Banyumas saat itu. Dengan komposisi
politik demikian, tidaklah mengherankan jika Banyumas pun tidak luput dari
pertumpahan darah tahun 1965. Sokaraja boleh dikatakan malah termasuk terlibat
secara emosional dalam drama pertumpahan darah saat itu karena salah satu putra
daerahnya, Jenderal Soeprapto, adalah salah satu korban yang diculik dan
dibunuh di Lubang Buaya.
Seperti juga koleganya di Jawa timur, Banser termasuk tulang punggung dalam
proses pembersihan orang-orang yang diduga komunis. Sokaraja pun bukan
pengecualian. Pada masa itu, Sokaraja Wetan dan Sokaraja Kidul merupakan basis
terkuat PKI. Tokoh-tokohnya adalah para pegawai kereta api di Stasiun Sokaraja.
Pak Iskandar Tirta Brata, tokoh Sokaraja Wetan dan kebetulan yang pada saat itu
menjadi Panglima Banser Banyumas, memberi kesaksian bahwa di Banyumas,
pertumpahan darah bisa segera diredam oleh para kyai.[7] Ini tidak berarti bahwa tidak ada korban dari kalangan
komunis, tapi untuk Sokaraja secara khusus dan Banyumas secara umum, skalanya
tidaklah semasif seperti di daerah lain. Sayangnya, tidak ada catatan pasti
berapa jumlah korban yang tewas dari kalangan komunis pada saat itu. Reportase
seorang jurnalis Australia yang dimuat di Economist pada bulan Oktober 1965
tentang pembersihan komunis di Banyumas juga hanya menyinggung sekilas tentang
metode pembunuhan dan penculikan atas mereka yang diduga anasir komunis tapi
tidak menyebutkan berapa jumlah korban.
Peristiwa pembersihan pengikut komunis di Sokaraja mungkin ada kaitannya dengan
konflik antara lingkaran kemapanan para saudagar batik dan pengikut komunis
yang biasanya para petani miskin. Sumber konfliknya biasanya adalah soal tanah.
Hal ini karena saudagar batik biasanya dikenal juga sebagai para tuan tanah.
Mereka menguasai lahan-lahan pertanian yang luas sebagai hasil dari akumulasi
keuntungan yang mereka dapatkan dari perniagaan batik. Sampai sekarangpun,
persoalan tanah adalah persoalan sensitif di Sokaraja, terutama di daerah
Sokaraja Kidul dan Wetan yang kebetulan juga menjadi benteng kaum abangan.
Kejayaan para pengusaha batik Sokaraja berakhir sejak naiknya Orde
pada pertengahan dekade 1960-an. Hal ini karena para teknokrat yang menjadi
tulang punggung perumusan kebijakan ekonomi saat itu segera mencabut berbagai
privilege yang dinikmati GKBI. Kebijakan pro pasar ala teknokrat ini segera
memukul para pengusaha batik Sokaraja. Dihadapkan pada iklim yang baru, mereka
tidak mampu bersaing menghadapi serbuan impor tekstil murah yang membanjiri
Indonesia sejak akhir 1960-an. Mereka semakin tenggelam ketika pemerintah juga
menggalakkan pengembangan pabrik-pabrik tekstil sebagai bagian dari kebijakan
ISI yang menjadi favorit sejak 1973.
Sekarang ini hanya tersisa 52 pengrajin batik di Sokaraja yang
sekedar bertahan hidup daripada mencari keuntungan. Koperasi Batik Perbain
memang masih memiliki gedung megah 2 lantai di Sokaraja Tengah, tapi skala usaha
yang mereka kelola sudah jauh merosot dari pada era keemasan tahun 1950-an.
Islamisasi dan Rasionalisasi Status
Pandangan Geertz tentang Islam Jawa berangkat dari asumsi bahwa
hanya reformasi agamalah (baca: modernisme Islam) yang mempunyai potensi untuk
mengembangkan sikap rasionalitas instrumental bagi bekerjanya institusi pasar
dan birokrasi. Argumennya berangkat dari pembedaannya antara dua kelompok
sosial; status group dan market-oriented group di mana modernisme
Islam menjadi sumber referensi tindakan bagi kelompok yang berorientasi pasar,
sedang elemen non-Islam menopang kemapanan kelompok status. Dalam kerangka ini,
kelompok berorientasi pasar dianggap lebih rasional daripada kelompok status
dalam mengeksploitasi kesempatan yang disediakan oleh berkembangnya ekonomi
pasar.
Namun demikian, trikotomi kelompok sosial (abangan, santri,
priyayi) dan dikotomi pandangan keagamaan (Islam vs. Hindu-Budha) dalam tesis
Geertz gagal menjelaskan dua hal; 1. pluralitas keagamaan di kalangan masyarakat
Jawa, dan 2. dinamika sosial-ekonomi masyarakatnya. Konsekuensi dari dua hal
ini, tesis Geertz memiliki kelemahan mendasar untuk menjelaskan kaitan antara
agama dan tindakan sosial para pengikutnya, hal yang menjadi konsen utama
karyanya tentang Jawa.
Islamisasi yang terus berlanjut di tengah melembaganya pasar
kapitalistik adalah adalah dua hal yang harus dijelaskan untuk meruntuhkan
tesis Modjokuto-nya Geertz. Kasus Sokaraja menunjukkan bahwa represi politik
masa kolonial, politik kerjasama pada masa Jepang, dan patronase negara pasca
kemerdekaan menjadi preseden sejarah yang sangat mempengaruhi proses
Islamisasi lanjut, hubungan penguasa-rakyat, dan perkembangan sosial-ekonomi di
wilayah ini dimana tarekat tetap memainkan peran sebagai kesadaran kolektif
untuk menciptakan integrasi sosial dan mengelola konflik.
Praktek beragama ala Sufi, pragmatisme dalam politik dan etik
ekonomi produktif banyak mewarnai kesadaran dan menjadi referensi tindakan
orang dalam hubungan sosialnya. Sayangnya, kesadaran kolektif absolut seperti
tarekat tidak memberi ruang bagi munculnya perbedaan dan radikalisasi. Potensi
tarekat dalam mendorong perubahan oleh karenanya menyimpan ambiguitas, karena
alih-alih mendorong munculnya rasionalitas instrumental ekonomi pasar yang
kapitalistik, dia justru menciptakan justifikasi untuk menopang
kelompok-kelompok status yang mapan secara ekonomi.
[1] Sokaraja mendapat status istimewa sebagai
tempat kedudukan pengurus cabang NU dan Muslimat yang terpisah dan mandiri dari
kepengurusan cabang Kabupaten Banyumas. PCNU Sokaraja melebur ke kepengurusan
NU Banyumas pada awal tahun 1990-an, sementara kepengurusan cabang Muslimatnya
tetap mandiri dari kepengurusan cabang Muslimat Banyumas sampai saat ini. Kyai
Raden Mukhtar, konsul NU pertama dan terakhir Banyumas dari tahun 1930-an
sampai 1950-an sendiri adalah seorang glontoran (istilah Banyumas untuk
pendatang) asli Magelang.
[2] Sekitar tahun 1930-an, Sokaraja juga menjadi
pusat pendidikan kader SI (Sarekat Islam). Bahkan ada cerita bahwa Cokroaminoto
pernah tinggal beberapa tahun di Sokaraja untuk tujuan ini. Keponakan
Cokroaminoto, Ishak Tjokroadisuryo menjadi wakil residen pada masa Jepang dan
residen pertama Banyumas pada masa revolusi kemerdekaan. Ishak Tjokroadisuryo
adalah sekutu dekat Soekarno dan menjadi salah satu dari sedikit pejabat
kolonial pertama masa yang segera menyatakan kesetiaannya pada pemerintahan
Republik yang baru berdiri
[3] Kyai Hasan Maulani dibuang ke kampung Jawa di
daerah Tondano Sulawesi Utara. Kampung Jawa ini merupakan pemukiman yang
didirikan oleh Kyai Modjo dan para pengikutnya, salah seorang pengikut
Diponegoro asal Klaten yang dibuang Belanda pada tahun 1831.
[4] Dua khalifah lain adalah Muhammad Hadi,
Girikusumo dan Abdullah, Kepatian Tegal.
[5] Sartono Kartodirdjo yang pernah menulis tentang
Pemberontakan Petani Banten memberikan konteks bagus suasana politik kolonial
pasca pemberontakan Banten.
[6] Kyai Muhammad Ilyas menggariskan bahwa mursyid
tarekatnya hanya boleh diturunkan pada keturunan laki-laki garis langsung.
Menurut keturunannya, ini ada kaitannya dengan wasiat untuk menjaga tanah wakaf
keluarga.
[7] Ada sebuah kebetulan yang menarik bahwa
Panglima Besar Banser Jatim (Muhammad Tadjuddin) dan Panglima Besar Banser
Jateng (Madori) pada waktu peristiwa 1965 adalah juga orang asli Sokaraja.
di banyumas ini disukaI PARA RAJA. BUKTINYA SEBUTAN SOKARAJA KARENA BANYNYA, AIRNYA SANGAT BAGUS LAIKNYA EMAS.
BalasHapusasik
BalasHapus